Senin, 10 Mei 2010

PEMBELAJARAN KOOPERATIF

Model pembelajaran konvensional banyak diterapkan dari sejak dulu sampai sekarang yang bercirikan yaitu memperlakukan sama kepada semua siswa dalam satu kelas yang sebenarnya mungkin memiliki banyak perbedaan bawaan. Dan juga situsi pembelajaran penuh dengan persaingan individu. Sehubungan dengan itu, maka Slavin (1994; 16)
”The critique of traditional classroom organization made by motivational theorist, is that the compentitive grading and informal reward sistem of the classroom create peer norms that oppose academic offorts”.

Pendapat di atas menjelaskan bahwa para ahli teori motivasi mengkritik terhadap kelas tradisional bahwa penilaian yang kompetitif dan pemberian penghargaan kepada siswa yang menjadi juara kelas telah menciptakan norma-norma acuan yang bertentangan dengan usaha sekolah yaitu semua peserta didik berhasil mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian model pembelajaran tradisional sekarang sudah perlu diganti dengan model pembelajaran yang sejalan dengan usaha sekolah tersebut.
Seperti telah diketahui bersama bahwa setiap lembaga pendidikan senantiasa bertujuan semua anak didiknya mencapai kemampuan minimal sama atau melampaui standar kompetensi yang telah ditetapkan melalui kurikulum yang diberlakukan. Dengan demikian, yang ada seharusnya kelompok berprestasi yaitu kelompok yang mampu mengangkat setiap anggota kelompoknya memberikan kontribusi mencapai nilai perkembangan kelompok yang paling maksimal melalui belajar kelompok.
Suatu model pembelajaran yang mengakomodir kepentingan bersama adalah model pembelajaran kooperatif. Apa sebenarnya pembelajaran kooperatif ditegaskan oleh Slavin (1994; 2) sebagai berikut.
”Cooperative learning refers to a variety of teaching methods in which students work in small groups to help one another learn academic content”.
Kooperatif adalah suatu gambaran kerjasama antara individu yang satu dengan lainnya dalam suatu ikatan tertentu. Ikatan–ikatan tersebut yang menyebabkan antara satu dengan yang lainnya merasa berada dalam satu tempat dengan tujuan–tujuan yang secara bersama–sama diharapkan oleh setiap orang yang berada dalam ikatan itu. Pemikiran tersebut hanya merupakan suatu gambaran sederhana apa yang tersirat tentang kooperatif.
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang berlandaskan konstruktivis. Konstruktivisme dalam pembelajaran kooperatif seperti yang dikemukakan oleh Nur (2001: 3) adalah bahwa siswa mampu menemukan dan memahami konsep–konsep sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Di dalam model pembelajaran tersebut pada aspek masyarakat belajar diharapkan bahwa setiap individu dalam kelompok harus berperan agar tujuan yang telah digariskan dapat tercapai.
Uraian di atas memberi kejelasan bahwa pembelajaran kooperatif mengacu pada berbagai metode pembelajaran di mana siswa bekerja di dalam kelompok kecil untuk membantu satu sama lain mempelajari materi pelajaran. Adapun penelitian secara bertahap harus berusaha meningkatkan keterampilan kooperatifnya sehingga mampu secara optimal mencapai tujuan pembelajaran yang sudah diinformasikan.
Selanjutnya, Slavin (1994: 2) menyatakan bahwa:
“in cooperative class rooms, students are expected to help each other, to assess each other’sesudah current knowlwdge and fill in gaps in each other’sesudah understanding.”

Artinya, di dalam kelas kooperatif, para siswa ajar diharapkan untuk tolong menolong, menilai pengetahuan mereka satu sama lain dan mengisi celah dengan pemahaman masing-masing. Adapun gagasan di belakang bentuk pembelajaran kooperatif ini adalah bahwa jika para siswa ingin berhasil sebagai suatu tim, mereka akan mendukung teman satu tim mereka untuk dapat melampaui kelompok lain dan ia akan membantu untuk melakukannya ada dua pengertian belajar kelompok dilihat dari substansi materi yang dipelajari atau dikerjakan, Nur (2000; 38) menyatakan bahwa :
“Metode pembelajaran kooperatif dapat dibedakan atas dua kategori besar yaitu : (1) group study method atau belajar kelompok yaitu siswa bekerjasama saling membantu mempelajari informasi atau ketrampilan yang relatif telah terdefinisikan dengan baik (2) pembelajaran atau pembelajaran berbasis proyek yaitu sesudah bekerja dalam kelompok untuk menyusun suatu laporan, eksperimen, atau proyek yang lain. Adapun perbedaan utama bahwa pada pembelajaran berbasis proyek masalah dan tujuan belum tersusun dan terdifinisi dengan baik, dan kelompok siswa justru mencari dan merumuskan masing-masing.”
Sebagai pemula melaksanakan pembelajaran kooperatif di kelas maka kategori yang pertama yaitu belajar kelompok yang akan diterapkan dalam pembelajaran Matematika pada penelitian ini.
Selanjutnya, sebagai latar belakang pembentukan kelompok Slavin (1994: 51) menyatakan yang maksudnya bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu solusi ideal terhadap permasalahan yang ada dalam kelompok siswa yang berbeda suku dengan peluang cukup besar karena adanya interaksi yang kooperatif. Kehadiran para siswa dari ras yang berbeda atau latar belakang suku yang berbda digunakan untuk meningkatkan hubungan dalam suatu kelompok. Pada persoalan Matematika banyak masalah yang sulit untuk dipecahkan sendiri-sendiri oleh siswa dan akan lebih efektif apabila didukung dengan model pembelajaran kooperatif.
Menurut Nur (2001: 2) unsur–unsur dalam pembelajaran kooperatif adalah
sebagai berikut.
1. Siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama“.
2. Siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompok disamping tanggung jawab terhadap diri mereka sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.
3. Siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama.
4. Siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggungjawab sama besarnya di antara para anggota kelompok.
5. Siswa akan diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berperan terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
6. Siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerjasama selama belajar.
7. Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.

Model pembelajaran kooperatif yang kita gunakan merupakan hal baru bagi guru dan siswa karena memiliki perbedaaan–perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan model pembelajaran selama ini, di mana peranan guru sangat dominan.
Tabel 2. Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif.
Fase Indikator Kegiatan guru
1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa Guru menyampaikan tujuan pemelajaran yang ingin dicapai dan memberi motivasi siswa agar dapat belajar dengan aktif dan kreatif
2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan cara mendemon-strasikan atau lewat bahan bacaan
3 Mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar Guru membimbing kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas-tugas

5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang dipelajari dan juga terhadap presentasi hasil kerja masing-masing kelompok
6 Memberi penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok

Hasil–hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik–teknik pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran kooperatif lebih banyak meningkatkan hasil belajar dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Beberapa perbedaan yang mendasar tersebut menurut Depdikbud (2000: 90) adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran Konvensional
Adanya saling ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memberikan motivasi sehingga ada interaksi promotif. Guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok.
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan. Akuntabilitas individual sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah seorang anggota kelompok sedangkan anggota kelompok lainnya hanya "mendompleng" keberhasilan "pemborong".
Kelompok belajar heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan. Kelompok belajar biasanya homogen.
Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis atau bergilir untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru atau kelompok dibiarkan untuk memilih pemimpinnya dengan cara masing-masing.
Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja gotong-royong seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan. Keterampilan sosial sering tidak secara langsung diajarkan.
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerja sama antar anggota kelompok. Pemantauan melalui onservasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar kelompok sedang berlangsung.
Guru memperhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. Guru sering tidak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai) Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
(Depdikbud, 2000: 90)
Pembelajaran kooperatif merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang interaksi antara siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru. Kondisi seperti inilah yang sangat diharapkan agar interaksi berjalan baik demi kelancaran pembelajaran. Contextual Teaching and Learning (CTL) yang dikembangkan oleh CORD dan dikutip oleh Nur (2001: 7) menyatakan bahwa kebanyakan siswa belajar jauh lebih efektif pada saat mereka diberi kesempatan bekerja secara kooperatif dengan siswa–siswa lain dalam kelompok atau tim. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Linda Lundgren, 1994; Nur dkk, 1997 (dalam Ibrahim, 2000: 17) menunjukkan bahwa dalam “setting” kelas kooperatif, siswa belajar lebih banyak dari satu teman ke teman lain diantara sesama siswa daripada dari guru. Penelitian juga menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positif terhadap siswa yang rendah hasil belajarnya.
Ada lima hal dasar yang perlu diperhatikan agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan baik (Johnson & Jonhson, 1991: 22-23), yaitu:
a. Kemandirian yang positif
Kemandirian yang positif akan berhasil dengan baik apabila setiap anggota kelompok merasa sejajar dengan anggota yang lain. Artinya satu orang tidak akan berhasil kecuali anggota yang lain merasakan juga keberhasilannya. Apapun usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk semua anggota kelompok. Kemandirian yang positif merupakan inti pembelajaran kooperatif.
b. Peningkatan interaksi
Pada saat guru menekankan kemandirian yang positif, selayaknya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling mengenal, tolong menolong, saling bantu, saling mendukung, memberi semangat dan saling memberi pujian atas usahanya dalam belajar. Aktivitas kognitif dan dinamika kelompok terjadi pada saat siswa diikutsertakan untuk belajar mengenal satu sama lain. Termasuk dalam hal ini menjelaskan bagaimana memecahkan masalah, mendiskusikan konsep yang akan dikerjakan, menjelaskan pada teman sekelas dan menghubungkan dengan pelajaran yang terakhir dipelajari.
c. Pertanggungjawaban individu
Tujuan kelompok dalam pembelajaran kooperatif adalah agar masing-masing anggota menjadi lebih kuat pengetahuannya. Siswa belajar bersama sehingga setelah itu mereka dapat melakukan yang lebih baik sebagai individu. Untuk memastikan bahwa masing-masing anggota lebih kuat, siswa harus membuat pertanggungjawaban secara individu terhadap tugas yang menjadi bagiannya dalam bekerja. Pertanggungjawaban individu akan terlaksana jika perbuatan masing-masing individu dinilai dan hasilnya diberitahukan pada individu dan kelompok. Pertanggungjawaban individu berguna bagi setiap anggota kelompok untuk mengetahui: siapa yang memerlukan lebih banyak bantuan, dukungan dan dorongan semangat dalam melengkapi tugas, bahwa mereka tidak hanya “membonceng” pada pekerjaan teman.
d. Interpersonal dan kemampuan grup kecil
Dalam pembelajaran kooperatif, selain materi pelajaran (tugas kerja) siswa juga harus belajar tentang kerja kelompok. Nilai lebih pembelajaran kooperatif adalah siswa belajar tentang keterampilan sosial. Penempatan sosial bagi individu yang tidak terlatih, walaupun disertai penjelasan bagaimana mereka harus bekerjasama tidak menjamin bahwa mereka akan bekerja secara efektif. Agar tercapai kualitas kerjasama yang tinggi setiap anggota kelompok harus mempelajari keterampilan sosial. Kepemimpinan, membuat keputusan, membangun kepercayaan, komunikasi dan keahlian menggelola konflik juga harus dipelajari seperti halnya tujuan mereka mempelajari materi pelajaran.
e. Pengelolaan kelompok
Pengelolaan kelompok akan berhasil jika setiap anggota kelompok mendiskusikan bagaimana mereka mencapai tujuan dan bagaimana mempertahankan hubungan kerja secara efektif. Kelompok perlu menggambarkan tindakan-tindakan apa yang akan membantu atau tidak akan membantu, selanjutnya membuat keputusan mengenai tingkah laku yang harus dilanjutkan atau diganti.
Pengelolaan kelompok ini akan berpengaruh terhadap hasil kerja kelompok. Setiap anggota kelompok akan menyumbangkan nilai perkembangannya untuk skor perkembangan kelompok.
Perhitungan skor perkembangan individu dapat mengacu menurut Slavin (1995: 80) seperti pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Perhitungan Skor Perkembangan Individu pada Pembelajaran Kooperatif

Skor Tes Nilai Perkembangan
Lebih dari 10 poin di bawah skor awal
10 poin hingga 1 poin di bawah skor awal
Diatas skor awal sampai 10 poin
Lebih dari 10 poin diatas skor awal
Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor awal) 5
10
20
30
30

Keterangan: Skor awal adalah skor yang diperoleh siswa dari pembelajaran tepat pada pertemuan sebelumnya.

Skor perkembangan kelompok diperoleh dengan menghitung rata-rata skor perkembangan individu pada setiap kelompok. Untuk menghargai prestasi kelompok ada tiga tingkat penghargaan yang dapat diberikan terhadap prestasi kelompok. Penghargaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:
Tabel 5. Penghargaan Prestasi Kelompok
Kriteria
Skor Rata-Rata Kelompok Penghargaan
5 ≤ x ≤ 15
15 < x ≤24
25 < x ≤30 Kelompok baik
Kelompok hebat
Kelompok super
2.2.2 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Model pembelajaran kooperatif yang diartikan sebagai proses pembelajaran yang mengacu pada metode pembelajaran dimana siswa belajar dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar. Jigsaw adalah salah satu model pembelajaran kooperatif, dimana siswa ditempatkan ke dalam tim beranggotakan 4 sampai 5 orang untuk mempelajari meteri yang telah dipecah menjadi bagian-bagian untuk tiap anggota (Aroson dalam Nur; 2000 : 29).
Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et al. sebagai metode pembelajaran kooperatif. Teknik ini menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Pendekatan ini bisa digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, dan bahasa. Teknik ini cocok untuk semua kelas/ tingkatan ( Lie, 2004: 68)

Model pembelajaran Jigsaw berupa pola mengajar teman sebaya dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk mempelajari suatu materi dengan baik dan pada waktu yang sama ia menjadi nara sumber bagi yang lain (Silberman, 2000 :157). Belajar dengan memerankan teman sebagai nara sumber, dikenal sebagai belajar dengan tutor sebaya. Dengan pola tutor sebaya, diharapkan ada peluang bagi siswa untuk dapat melaksanakan kegiatan belajar lebih intensif dan efektif.
Diantara model pembelajaran kooperatif, hanya model Jigsaw yang jumlah anggotanya tidak terbatas hanya empat orang. Lebih khusus lagi bahwa dalam model pembelajan Jigsaw terdapat dua macam kegiatan yaitu di dalam kelompok asal dan kelompok ahli. Pada Jigsaw tidak diterapkan sistem penghargaan kelompok, para siswa dinilai berdasarkan hasil belajar individu masing-masing. Tipe Jigsaw model Aroson, siswa diatur dalam kelompok dengan anggota terdiri dari 4 sampai 5 orang yang heterogen. Setiap siswa diberi tanggungjawab mempelajari satu bagian topik. Kemudian setiap anggota kelompok bergabung dengan anggota kelompok yang mempelajari topik yang sama membentuk kelompok ahli (experts group). Di dalam kelompok ahli setiap anggota kelompok membahas topik dan merancang teknik menjelaskan topik tersebut pada kelompok asalnya. Bahan ajar disusun dalam bentuk teks (Sidharta, 2004 : 17 ).
Pembelajaran model Jigsaw berorientasi pada keberhasilan kelompok, sehingga setiap siswa dapat termotivasi untuk meningkatkan aktivitas. Siswa yang menjadi ketua kelompok akan bertanggungjawab untuk membawa kelompoknya menjadi terbaik. Dalam hal ini sumber belajar tidak terbatas hanya pada bahan yang disediakan guru saja, tetapi dapat bebas dipilih bahan belajar dari sumber manapun yang sesuai. Sebagai sumber belajar dapat berupa pesan, proses, prosedur, latar dan orang. Untuk dapat mempertahankan kualitas interaksi belajar antar kelompok, maka jumlah anggota harus diperhitungkan.
Sejalan dengan itu Mahmud (1989 : 236 ) menyatakan bahwa :
“ Dalam teknik kooperatif tipe Jigsaw, siswa dimasukkan ke dalam tim-tim kecil yang bersifat heterogen. Bahan belajar dibagikan kepada anggota-anggota tim. Kemudian masing-masing mempelajari bagian tugasnya dengan cara bergabung dengan anggota dari tim lain yang memiliki bahan tugas yang sama. Setelah itu mereka kembali ke dalam kelompoknya semula mengajarkan bahan belajar yang telah dipelajarinya bersama anggota tim lain kepada anggota-anggota timnya sendiri. Akhirnya seluruh anggota tim dites mengenai seluruh bahan yang sudah dipelajarinya”.

Pokok bahasan yang terdiri dari banyak sub dipastikan dapat menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, akan tetapi untuk pokok bahasan yang sedikit sub topiknya kurang cocok menggunakan model pembelajaran tipe Jigsaw, karena bisa terjebak pada fenomena “ free rider’ (penunggang bebas) atau diffusion of responsibility (menunggang tanggungjawab), karena ada anggota kelompok yang terabaikan perannya. (Sidharta, 2004 : 15-21).

Dari uraian teori diatas maka pembelajaran tipe Jigsaw dapat dijadikan alternatif terbaik untuk meningkatkan aktivitas siswa. Hal ini diperkuat oleh pendapat Slavin (1994;126) yang mengemukakan sebagai berikut:
“Jigsaw is one of the most flexible of the cooperative learning methods several modification.” Pernyataan tersebut diartikan bahwa Jigsaw adalah suatu model dari metode coopertive learning yang lebih luwes dengan melalui beberapa penyempurnaan dengan karakter yang lain, telah dikembangkan model pembelajaran tipe Jigsaw, tipe yang lain yang disebut sebagai tipe Jigsaw II dan Jigsaw III.
Jigsaw II dikembangkan oleh Robert Slavin. Pada dasarnya Slavin mengambil struktur yang sama dengan Jigsaw Aronson, akan tetapi disederhanakan dengan cara kelompok membahas suatu topik dan setiap anggota kelompok memilih sub topik untuk dikuasai (menjadi ahli). Setiap ahli membahas subtopiknya kepada anggota lainnya. Slavin menambahkan aspek kompetisi kelompok dan penghargaan kelompok seperti pada STAD. Modifikasi ini berguna untuk menghadapi topik yang sedikit. Jigsaw III dikembangkan oleh Spencer Kagan (Blosser, 1992). Tipe ini khusus untuk pendidikan bilingual. Dalam Jigsaw III seluruh materi belajar disajikan dalan dua bahasa (Sidharta, 2004: 18).
Slavin (1994:122) menyatakan : “ The key to Jigsaw is independence every student depends on him and her mates to provide the informations needed to do well on the assessments ”. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa kunci dan model pembelajaran tipe Jigsaw adalah saling ketergantungan setiap pelajar kepada teman kelompoknya dalam membuat kelengkapan informasi yang diinginkan, sebagai bahan untuk mengerjakan tes penilaian.
Menurut Lie (2004: 68) Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang secara heterogen dan bekerja sama, saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok lain
Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw siswa diminta untuk membaca suatu materi dan diberi lembar ahli ( expert sheet ) yang memuat topik-topik berbeda untuk tiap tim yang harus dipelajari (didalami) pada saat membaca . Apabila siswa telah selesai membaca, selanjutnya dari tim berbeda dengan topic yang sama berkumpul dalam kelompok ahli ( expert group) untuk mendikusikan topik mereka, selanjutnya ahli-ahli ini kembali ke tim masing-masing untuk mengajarkan kepada anggota yang lain dalam satu tim. Pada akhirnya siswa mengerjakan kuis yang mencakup semua topik dan skor yang diperoleh menjadi skor tim. ( Wijayanti dalam Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIII : 2004 )
Pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang semua anggotanya memiliki bagian materi yang berbeda-beda dan merupakan gabungan dari beberapa kelompok ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang mempelajari dan mendalami materi yang sama. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut:

Kelompok asal



Kelompok ahli




Gambar 1. Ilustrasi kelompok Jigsaw

Menurut Slavin (1994:71) rencana pembelajaran kooperatif Jigsaw dapat diatur sebagai berikut.
a. Membaca: siswa memperoleh materi dan membaca materi tersebut untuk mendapatkan informasi.
b. Diskusi kelompok ahli: siswa dengan materi yang sama bertemu untuk mendiskusikan materi tersebut.
c. Diskusi kelompok asal: kelompok ahli kembali ke kelompok asalnya untuk menjelaskan materi tersebut pada kelompoknya.
d. Kuis: siswa memperoleh kuis individu yang mencangkup semua materi.
e. Penghargaan kelompok: perhitungan skor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok.

Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, diakhir pembelajaran, siswa diberi tes/ kuis secara individu yang mencakup materi yang telah dibahas. Selanjutnya, hasil tes siswa tersebut diberi poin peningkatan yang ditentukan berdasarkan selisih skor terdahulu (skor dasar dengan skor akhir). Tujuan dari skor dasar dan poin peningkatan individu adalah untuk meyakinkan siswa bahwa setiap siswa dapat memberikan poin maksimal pada kelompoknya. Kriteria pemberian poin perkembangan individu dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 6. Kriteria Perkembangan Individu

Skor Kuis Terakhir Poin Peningkatan
Lebih dari 10 poin dibawah skor dasar 0 poin
10 poin – 1 poin di bawah skor dasar 10 poin
Skor dasar sampai 10 poin di atasnya 20 poin
Lebih dari 10 poin di atas skor dasar 30 poin
Nilai sempurna (tanpa memperhatikan skor dasar) 30 poin
(Slavin, 1994:80)

Setelah dilakukan perhitungan peningkatan poin individual dilaksanakan pemberian penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diberikan berdasarkan pada poin peningkatan kelompok.




PEMBELAJARAN KOOPRATIF
NAMA : RITA PURNAMA WATI
NPM : 0823011111


Pemhelajaran kooperatif adalah pemhelajaran yang mcngacu pada teori konstruktivis, yaitu suatu teori belajar yang mcngklaim bahwa individu membangun pengetahuan dan pemahamannya dari pengalaman barn her¬dasarkan pengetahuan yang telah dimiliki (Suhandar 2003 : 5).Pembelajaran kooperatif ialah pembelajaran dalam kelompok kccil (4 orang), murid-murid bekerjasama, membantu balk individu maupun ke¬lompok untuk mencapai tugas yang dibebankan masing-m asing maupun kelompok. (www.geoscities.com)


Menurut Slavin (dalam as'ari 2003:6) ada dua aspek penting yang melan¬dasi keberhasilan pembelajaran kooperatif, yaitu:

1. Aspek motivasi
Pada dasarnya aspek motivasi ada didalam konteks pemberian peng¬hargaan kepada kelompok. Adanya penelitian yang didasarkan atas keberhasilan kelompok mampu menciptakan situasi dimana satu¬satunya cara bagi setiap kelompok untuk mencapai tujuannya adalah dengan mengupayakan agar tujuan kelompoknya tercapai terlebih da¬hulu, ini mengakibatkan setiap anggota kelompok terdorong untuk mengajak, mendukung dan membantu kolompoknya berhasil menye¬lesaikan tugas yang diemban dengan baik.
2. Aspek Kongnitif
Asumsi dasar dari teori perkembangan kongnitif adalah bahwa inter¬aksi antara siswa disekitar togas-togas yang sesuai akan meningkatkan ketuntasan siswa tentang konsep-konscp penIint,,.

Pembelajaran Kooperatif tipe TGT

Dalam perkembangan, pembelajaraan kooperatifmemIliki herbagai macam tipe, tiap tipe memiliki perbedaan dalarn hakikat pernbelajaran, bentuk kerjasama, peranan dan komunikasi antar siswa se. to peranan guru. Salah satu tipe pembelajaran kooperatif adalah TGT yang dikembangkan o!eh De Vries dan slavin pada tahun 1978 di Universitas John Hopkins. TGT adalah kombinasi dari kerjasarna dalam kelompok dan permainan instruk¬sional. Dalam TGT siswa dibagi kedalarn kelompok yang beranggotakan 4 sampai 5 siswa yang hetrogen. Pembelajaran dinurlai dengan penjelasan
guru tentang konsep dan prinsip, selanjutnya siswa diminta uni.uk belajar dalam kelompoknya menyelesaikan togas-togas yang diberikan guru da¬lam rangka memantapkan pemahaman terhadap konsep dan prinsip yang sudah diberikan. Siswa diberikan kebebasan mcngenai cara menyelesai¬kan tugas kelompoknya, setiap siswa dalam kelompok bertanggung ja¬wabterhadap keberhasilan kelompoknya, karena itu setiap individu dalam kelompok hares betul-betul memahami konsep dan prinsip yang dipelajari Lirena keberhasilan dinilai dari keberhasilan kelompok hukan dari keber¬
Hasil individu.
I'cmbelajaran kooperatiftipe'l'Gl' mcmiliki komponcn-koniponen sebagai berikut:
I. Presentasi Kclas
Guru menerangkan tentang konsep secara saris bcsar niateri di depan Lclas dan siswa nicnipcrhatikan.
2. kelompok
Siswa di kelompokkan dalam kelompok-kelompok kccil yang hetcro¬gen, setiap kelorpok terdiri dari 4-5 orang. Sctclah guru menjelaskan materi, setiap kelompok mengerjakan lembar kerja kelompok, berdis¬kusi memecahkan rnasalah bersama-sama. Setiap ariggota kelompok harus yakin bahwa dirinya benar-benar telah menguasai materi, mem¬pertanggung jawabkannya dalam presentasi kelas, dan mempersiapkan diri dalam turnamen.
3. Turnamen
Turnamen atau pertandingan antar keloinpok dilakukan yaitu dengan memisahkan siswa yang memiliki kemampuan sama dari masing-ma¬sing kelompok yang ditempatkan dalam meja 1, siswa yang sedang dalam meja 2, dan meja 3, sedangkan siswa yang rendah diterpatkan dalam meja 4. Berikut ilustrasi turnamen yang dilaksanakan.


Siswa yang sama tingkat keccl'dasailllya dtldtll( dalam sate IllClil iur¬nalnen Untuk nlenjawab pertanyilan yang ada dl IllClil tCI'sebut sccara hergilIran. Apabila dapat nlenjawab soal dcngan benar nlaka siswa akan memperoleh kartu kemenangan yang didalanmya terdapat poin. Namun jika salah, siswa lain yang masih (',slam satu nlcja botch men¬jawab, jika benar maka kartu poin jadi in iIiknya, nam(In jika salah maka nilainya akan di kurangi. Setelah pertandingan usai para siswa menghitung nilai yang di peroleh tertera dalam kartu kemenangan, ni¬lai tersebut itulah nilai individu. Siswa yang memperoleh nilai terba¬nyak meraih tingkat I (top scorer), siswa yang memperoleh terbanyak kedua meraih tingkat 2 (high mindle scorer), siswa yang memperoleh terbanyak ketiga meraih tingkat 3 (low midle scorer), siswa yang memperoleh nilai terkecil meraih tingkat 4 (low scorer). Perolehan poin dapat ditunjukkan pada tabel berikut.


Berdasarkan perolehan poin pada turnamen sebelumnya, dan Mill) hcranggota¬kan kelonlpok yang nlcmitiki tingkat yang soma.
4. Penghargaan kelonlpok
Nilai kelonlpok dihitung hcrdasarkan iii tai rata-rata nilai yang dipero¬leh setiap anggota kelompok hetrogen semula. Bagi yang nlemiliki ni¬lai rata-rata tertinggi akan dijadikan juara pertama dan akan mempero¬leh hadiah. Penghargaan kelompok 40 point : good team
45 point : great team
50 point : Super team

Tidak ada komentar:

Posting Komentar